Sudah lama nian saya tidak nulis. Uteke lagi
buntu. Tapi kali ini saya tergelitik
dengan isu yang sedang panas-panasnya di bumi Indonesia. Negara yang seharusnya
damai. Tetapi, gara-gara orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan entah
gimana pola pikirnya, edan dan ngebomi orang, Indonesia menjadi
berduka. Saya miris atas itu semua dan jijik atas tindakan keji yang
dilakukan para teroris itu. Tapi saya yakin, Indonesia jauh jauh lebih kuat. Tidak
akan terkoyak dan terpecah belah oleh kasus ini.
Pokoke... Long live my family... Long live my
country... (keliatan banget yang nulis kamtis family).
Ok. Biar tetap sinergi dengan visi misi blog ini. Saya perlu melihatnya dari sudut pandang sains. Kalo tidak cukup sains, yo dipeksoke ra popo. Dzorurot.
Seperti yang pernah saya tulis dalam tulisan "jamu ini tidak mengandung bahan kimia, yakin?", saya
hendak menyatakan sikap bahwa kimia dan ilmu sains lainnya bebas nilai. Seperti
halnya pisau, akan menjadi sesuatu yang bermanfaat jika digunakan oleh koki dan
mbok-mbok atau mbak-mbak yang masak. Atau setidaknya digunakan oleh Bong
Supit untuk nyunati. Bahkan nuklir pun, akan menjadi sesuatu yang
sangat bermanfaat jika digunakan oleh orang tepat, misalnya sebagai pembangkit
listrik. Tapi semua itu akan menjadi perusak dunia jika berada di tangan orang
yang salah.
Saya jadi ingat tentang Alfred Nobel (1833-1896). Namanya melekat dengan penghargaan yang mendunia, Nobel Prize atau penghargaan Nobel, karena memang dialah yang mencetuskan. Dia adalah kimiawan asal Swedia. Mungkin itulah sebabnya acara pemberian penghargaan ini selalu dihelat di Swedia.
Nobel adalah ilmuwan yang memiliki 355 paten dan penemu dinamit
atau peledak. Dia belajar dari ahli kimia Italia Ascanio Sobrero, yang
menemukan nitrogliserin. Bahan kimia ini mudah untuk meledak
(ga usah tak jelaskan ya bagaimana cara membuatnya).
Nobel melihat ini sebagai potensi bisnis, misalnya untuk proyek konstruksi. Dia kemudian kembali ke Swedia dan membuat pabrik bahan peledak ini. Akan tetapi, pabrik tersebut meledak dan menewaskan adiknya, Emil. Sungguh naas. Dia belum cukup sakti untuk mengendalikan bahan peledak tersebut.
Nobel melihat ini sebagai potensi bisnis, misalnya untuk proyek konstruksi. Dia kemudian kembali ke Swedia dan membuat pabrik bahan peledak ini. Akan tetapi, pabrik tersebut meledak dan menewaskan adiknya, Emil. Sungguh naas. Dia belum cukup sakti untuk mengendalikan bahan peledak tersebut.
Singkat cerita, dia berhasil menemukan formula sehingga dapat mengendalikan bahan peledak tersebut sehingga aman digunakan. Bahan peledak tersebut dia namai dinamit. Kata ini berasal dari bahasa Yunani, dynamis, yang bermakna tenaga atau daya. Mulai dari sinilah Nobel bisa mengumpulkan pundi-pundi kekayaannya. Dinamit banyak digunakan dalam proyek pembangunan. Dinamit dapat menghemat waktu, tenaga, dan biaya.
Akan tetapi, dia sedih dan menyesal karena hasil karyanya disalahgunakan. Dinamit banyak digunakan dalam medan perang, menghancurkan, membuat kerusakan dan membunuh manusia. Dalam kesendiriannya, dia meninggal di usia 63 tahun dan meninggalkan warisan harta dalam jumlah banyak. Dia menuliskan wasiat bahwa hartanya akan diinvestasikan dan keuntungan yang didapatkan digunakan menyelenggarakan penghargaan Nobel. Penghargaan yang diberikan kepada sosok yang berjasa besar bagi kemanusiaan.
Lalu, sebenarnya apa yang ada di dalam otak para teroris saat mengebom? Membunuh sesama manusia, sesama bangsa, sesama makhluk Tuhan yang berhak untuk hidup.
Apakah teroris tidak pernah belajar dari Nobel? Jika tidak mampu, belajar untuk menjadi manusia. Jika tidak bisa menghargai seseorang karena agamanya, hargailah seseorang tersebut sebagai makhluk Tuhan yang juga harus dikasihsayangi. Ya Allah, lindungi negara ini. Aamiin.
O ya. Saya sampaikan selamat menjalankan Ibadah di bulan Ramadlan,
1439 H. Yuk tunjukkan sikap Islami. Sikap Rahmatan lil aaalamiin.
Referensi:
No comments