Featured Slider

Ku tak perlu tahu apa agamamu, kau kan tetap ku bantu

Kali ini saya tidak akan terlalu memhas yang berkaitan dengan kajian sains, tidak apa-apa ya... tapi kisahnya tipis-tipis berkaitan dengan sebuah kejadian saat ngelab dulu.

Ku ingin bercerita, ini kisah nyata, itu saja. 

Kita diciptakan beragam, tidak harus seragam
sumber: koleksi pribadi

Minyak Goreng: mak pletok

Isu minyak goreng sudah menjadi hal yang acap kali muncul beberapa bulan terakhir. Kendati harga minyak goreng berangsung turun dan stabil, tetapi masih tetap dianggap mahal, khususnya bagi kalangan bawah. Para mafia yang bermain-main terkait penyebab langkanya sembako yang satu ini masih diuber KPK satu demi satu. Tapi ah sudahlah... saya tidak akan membahas lebih jauh ranah yang bukan bidang saya. hehehe

Terus apa yang akan dibahas kali ini?

Yaps, sesuai dengan judulnya, "Minyak Goreng: Mak Pletok". Maksud dari kalimat tersebut adalah suara-suara yang bermunculan saat menggoreng. Letupan-letupan kecil hingga besar seringkali terjadi saat menggunakan minyak goreng dalam proses menggoreng.

Letupan saat menggoreng menggunakan minyak goreng. Ya iyalah, kalo menggoreng dengan air, itu istilahnya merebus. hihi.. seperti yang disarankan oleh salah seorang Ibu di dalam TV

Upil yang Nyempil

Pertanyaan itu muncul di malam minggu. Sungguh tidak mencerminkan sosok yang romantis. Saat yang lain sedang membahas pasangannya atau membahas kondisi tanpa pasangan, ehh, malah aku memikirkan upil. Sungguh malam minggu yang mempesona. Di kamar sambil merenungkan apa itu upil. 

Ok. saatnya kita bahas tipis-tipis tentang upil. Upil adalah istilah untuk ingus atau mukus kering yang selalu hinggap di dalam hidup kita, eh... maksudnya hidung kita. Upil memiliki beragam warna dan tekstur yang berbeda. Karena dianggap kotor, kita selalu berusaha membersihkannya. Tapi masalahnya, sudah bebersih tiap hari tetap aja ada. Saya yakin para pembaca juga merasakan hal yang sama.
Aku ganteng, maka aku ngupil

Romansa Soto Jogja

"Aku mau hunting foto di Malioboro, mau ikut?"

Itulah sekelumit percakapan di film Kata Hati yang kami tonton bersama di minggu pagi. Tiba-tiba terceletuk pertanyaan dari mulutku, 

"Aku mau hunting soto di Malioboro, mau ikut?"

Tanpa babibu istriku menjawab, "yuk!"

Sungguh aneh, ujan-ujan kami rela menuju malioboro demi menikmati soto favorit kami. Default lidah kami untuk soto di Jogja sudah terlekat di warung itu. Ketika nyoba yang lain, lebih banyak gelo daripada tresno.

Artikel kali ini tidak akan membahas romantisme Jogja di Januari. Jogja dengan rintik hujan dengan taburan kenangan, tanpa menyisakan genangan. Tapi, pagi ini akan membahas Soto Sapi spesial dengan komposisi yang menyehatkan di warung emyeh emyeh di sebelah pusat toko buku, yang jamak dikenal dengan shopping. Tepatnya di utara toko Remujung.
Pesona kota ini tidak akan habis ditulis dalam beribu prosa. Tapi akan selalu terpatri dalam sepenggal rasa.