Kali ini saya tidak akan terlalu memhas yang berkaitan dengan kajian sains, tidak apa-apa ya... tapi kisahnya tipis-tipis berkaitan dengan sebuah kejadian saat ngelab dulu.
Ku ingin
bercerita, ini kisah nyata, itu saja.
Saat kuliah dulu, hari Sabtu adalah hari yang tidak luput dari kegiatan ngelab demi mempercepat penelitian yang saat itu pun ku tak tahu kapan akan ketemu ujungya. Tapi Sabtu tetaplah Sabtu, relatif santai dan tidak perlu ngoyo.
Setibanya di depan
gedung kimia, ku lihat ada orang yang kebingungan mencari sebuah lokasi di
kampus. Tidak banyak orang di kampus hari itu yang dapat membantu dan banyak
mereka yang tidak tahu lokasi yang dituju. Seperti ku bilang di awal, Sabtu tetaplah
Sabtu...
Singkat cerita, ku
tahu orang tersebut berasal dari Filipina.
Entah mengapa saat
itu ku putuskan untuk membantu orang tersebut. Ku boncengkan dia untuk mencari
gedung yang dimaksud karena kalau harus ku lalui dengan jalan kaki, selain lungrah,
lebih akan menyita waktu. Padahal hari itu sudah semangat '45 untuk ngelab.
Langsung motor ku gas untuk segera melaju gedung yang dituju. Tapi apa daya, Sabtu tetaplah Sabtu. Lokasi yang dituju tutup. Ku lihat raut mukanya sedikit kecewa dan kecut. Lelah nampaknya dia. Akhirnya ku ajak ke kantin untuk sekedar istirahat dan minum air putih yang tersedia secara gratis. Ku tawarkan makanan dia menolak.
Tak afdlol rasanya jika tidak saling bincang, basa-basi tipis tipis atau menanyakan tujuan. Dia bercerita jika dia berasal dari luar kota yang sengaja ke kampusku untuk memproses sebuah dokumen. Dia tidak tahu jika Sabtu tetaplah Sabtu...Libur. Dia pun tak ragu bertanya balik kepadaku terkait asalku. Ku jawab dengan mantap disertai bangga yang menggelora bahwa aku berasal dari Indonesia.
Tak ku nyana dan
tak ku duga, dia bertanya terkait hal yang bersifat privasi, yaitu agama. Dia menanyakan
agamaku. Ku jawab dengan santai bahwa Islam adalah agamaku.
Dia nampak kaget...
dia merespon dengan sedikit keheranan, “kok kamu mau membantuku yang berbeda
agama?” Ku jawab, “Hla mengapa. Apa salahnya?”
Singkatnya, dia
bercerita dengan cukup panjang bahwa Muslim yang dia temui sebelumnya tidak
seperti itu sehingga menimbulkan stereotype di tempurung kepalanya tentang muslim yang berbeda. Jauh berbeda dengan yang dia temui hari ini, Muslim yang ramah, bukan
pemarah.
Aku tak tahu
pasti apa yang menjadikannya melakukan stereotype seperti itu. Tapi jelas ku
tak marah, dasarane aku kui wonge ramah je, ganteng lagi. Ku jawab
dengan sedikit menunjukkan fakta, bahwa di Indonesia itu adalah hal yang rumlah,
eh.. lumrah maksudnya. Muslim Indonesia ramah-ramah... Mudah-mudahan akan selalu seperti itu.
Itu saja ceritaku
di hari itu.
Jadi ingat ngendikane Cak Nun, agama itu letaknya di dapur. Tidak masalah alat atau bumbu apa yang kamu gunakan, yang lebih utama makanan tersaji dengan baik dan sehat.
Kita memang diciptakan Tuhan berbeda-beda, bersuku-suku, berbangsa-bangsa untuk mengenal satu sama lain. Itu yang ku pahami dari Al Qur`an surat Al Hujurat ayat 13.
Beragama dengan moderat akan menghasilkan manusia yang bermartabat dan bermanfaat.
No comments